cari di sini

April 12, 2012

Cerita "Istri Simpanan": lantas, bagaimana?

Teng-tereng.. jadi tiba-tiba seharian ini saya melihat ada pembahasan seru di Twitter. Intinya tentang cerita yang ada di buku pelajaran anak kelas 1 dan 2 SD. Ada yang tentang istri simpanan dan cerita yang cenderung seram mengandung kekerasan.

Tapi kemudian, fokus saya pindah ke beberapa tweet yang nampaknya memang gerah dengan materi-materi ini. Yang disayangkan, ada akun-akun yang begitu cepat membuat satu judgement dari media twitter yang 140 karakter berdasarkan satu buah twit.. This is, somehow, menyeramkan. Ya, menyeramkan betapa kita memang punya bawaan untuk gampang menilai, menjudge sesuatu tanpa mencari tahu atau mempelajarinya terlebih dahulu. Maka dari itu, sekali lagi, mari kita pintar-pintar dan bijak dalam menggunakan sosial media dan mengelola informasi yang sekarang ini berputar dengan sangat cepat. Karena kalau kita tidak bijak, kita bisa cepat membuat penilaian. Penilaian yang buruk, kadang membuat kita benci dan buta hingga tidak mau mengenal. Akibatnya, pemahaman kita malah semakin sempit dan sulit untuk menerima wawasan baru.

Mbak Nina, dalam hal ini mencoba untuk mencari hikmah dengan apa yang sudah terjadi. Bagaimana menanggulangi 'kelalaian pemerintah' yang fatal ini. Kita bisa mengajak anak berdiskusi, tentang isi cerita tersebut. Apakah cerita itu baik atau buruk (Anda tau jawabannya) atau apakah kita boleh melakukannya atau tidak (Anda juga tahu jawabannya). Saya sangat paham kenapa Mbak Nina fokusnya ke arah sini. Karena ini adalah sesuatu yang berada di jangkauan kita, yang bisa kita segera lakukan. Sebagai anggota keluarga atau Ibu dari anak-anak ini. Tentu saja cerita ini perlu penanganan dari pemerintah, tapi, seberapa jauh kita bisa menjangkau hal itu? Butuh berapa lama? Lalu, kalau sudah terpapar bagaimana? Sebagai seorang Ibu dan juga Psikolog, Mbak Nina tentu mencari solusi yang paling mungkin dilakukan sesegera mungkin. Sambil menerapkan itu di rumah, mungkin kita bisa saling bahu membahu mengatasi ini. Termasuk mungkin meminta sekolah untuk memilih dengan cerdas buku apa yang akan dipakai di sekolah.

Hihi, tiba-tiba saya merasa ingin menulis ini, untuk sekedar mengingatkan (diri saya sendiri). Semua harus dimulai dari rumah, termasuk pendidikan. Diskusi dengan orang tua merupakan satu hal yang bisa menjadi sarana belajar anak. Yang lebih penting, sarana BERKOMUNIKASI dengan anak. Sekolah memang institusi pendidikan formal, namun, bukan berarti kita bisa lepas tangan untuk masalah (konten) pendidikan. Semoga tulisan ini tidak menyinggung siapapun. Jika ada, saya mohon maaf.


Roro Puteri,
Doakan lancar perjalanannya menjadi psikolog pendidikan tahun depan. :)


 

No comments:

Post a Comment