cari di sini

June 22, 2011

Jika Aku Menjadi dan "kemana sih anak-anaknya??"

Weekend lalu gw sempet nonton 'Jika Aku Menjadi' yang tayang di Trans TV. Ya. Intinya adalah memberikan 'kesempatan' untuk orang-orang muda yang lebih beruntung untuk hidup seperti orang-orang yang 'lebih hebat'.
Perempuan hebat yang kisahnya diangkat minggu lalu adalah seorang nenek yang hidup sendiri. Ia sampai terpaksa makan semacam umbi-umbian karena tidak punya uang untuk makan nasi. Untuk menahan rasa sakit tangannya yang patah, beliau bahkan meminum obat untuk unggas.
Gw nangis aja deh. Kaya digamparin pake ipad deh rasanya.
Tapi ada satu scene dimana peserta bilang bahwa sang nenek sebenarnya merasa kesepian, tapi ia tidak mau mempermasalahkan anak-anaknya yang tidak mengunjunginya.
Yes. Setiap kali gw nonton acara semacam ini, dimana ada orang tua yang tinggal sendiri, di rumah yang tidak lagi layak, gw akan bertanya: kemana sih anak-cucunya?? Tapi, itu dulu.
Dulu? Ya. Gw mengalaminya. Almarhumah nenek gw dulu tinggal sendiri di desa gw. Kami, terutama nyokap gw, bukannya gak mau mengurus beliau. Tapi, seriously, kami seringkali meminta beliau tinggal bersama kami, atau salah satu anaknya, di Jakarta. Tapi, beliau bersikeras tidak ingin meninggalkan rumah tuanya di desa. Alasannya: tidak ada yang mengurus rumah dan kebun. Banyak kenangan yang ada di rumah tersebut. Padahal, kami punya penjaga rumah dan kebun.
Kita harus paham, setiap sudut rumah yang sudah lama kalian tinggali pasti punya kenangan yang akan sulit dilepaskan kan? Tampaknya itu juga yang menjadi alasan orang-orang tua di reality show dan kehidupan nyata sulit untuk meninggalkan 'rumah tua' mereka. Sulit untuk memasukkan kenangan baru dalam memory mereka, dan, sulit untuk kita memaksa mereka untuk melepas kenangan yang telah tertanam. Dan gw, gw sedih banget kalo harus memaksa beliau cuma bisa mengingat rumah itu dalam kenangannya karena harus jauh dari rumah itu. Gw aja kalo lagi BT banget selalu kabur ke rumah itu. Gw akan merasa tenang dan tentram.
Nyokap gw hanya akan memaksa, as in marah, nenek gw untuk ke Jakarta apabila beliau sakit. Kalau beliau sudah sembuh, maka beliau akan memaksa, as in ngambek, untuk cepat kembali ke desa.
Sulit untuk kami mencari 'pendamping' yang sesuai dengan beliau. Beliau masih didikkan Belanda yang tegas, teratur, dan penuh norma. Maka, sulit untuk mencari yang bisa 'patuh' dan bertahan dengan beliau. Untunglah yag terakhir ini tidak ada masalah.
Ya, sekarang gw udah ngga lagi 'sewot' "anak-anaknya kemana sih??" kalo nonton acara semacam ini. Karena, mungkin keturunan nenek gw mungkin masih mampu untuk sering menjenguk beliau. Masih cukup untuk membayar 'pendamping' untuk beliau. Sedangkan yang di tivi? Mungkin keturunan nenek/kakek tersebut memang tidak mampu untuk sering-sering berkunjung, atau membawakan makanan, apalagi harus mencari 'pendamping' bagi orang tua mereka. Dan, seperti nenek gw, mungkin mereka juga gak bisa memaksa orang tua mereka untuk ikut tinggal bersama mereka.
Jadi, gw sudah berhenti untuk nyinyir 'kemana sih anak-anaknya?'

Dan gw, sangat kangen nenek gw. Bobok yang tenang ya Mbah.. :')


No comments:

Post a Comment