Kepada kota yang sudut-sudutnya ku rindukan.
Jakarta, entah apa isi surat yang kau kirim pada kami para pendudukmu. Bila saja kamu bisa menulisnya. Kamu hanya diam seperti dulu, namnu apa yang ada di atasmu membuatmu terus dikutuk, dicerca, namun entah bagaimana terus dirindukan. Tanahmu yang terus memanggil mereka dari desa-desa berlekuk hijau, seakan-akan kamulah yang menjanjikan surga. Padahal kamu, hanya diam, menerima dengan terbuka apa-apa yang dibangun di atasmu.
Jakarta, di atasmu berdiri banyak gedung-gedung megah, yang entah mengapa dibanggakan oleh mereka yang berjalan di sekitarnya. Aku? Aku merindukan sudut-sudut kotamu. Aku rindu menyusuri trotoar-trotoar yang dibangun di atasmu. Menyusuri udara yang menyelimuti pada malam-malam hari, sambil memanjakan mataku dengan lampu-lampu yang menghiasi malam-malam di atasmu. Aku rindu, keheningan bersamamu, yang kini entah jam berapa bisa ku dengarkan. Mendengarkan nafasmu yang berat menopang kehidupan yang harus terus menderu di atasmu, 24 jam sehari.
Jakarta, apa kamu lelah? Terlalu banyak orang yang menggelindingkan hidupnya di atasmu. Apa kamu marah? Banyak orang yang mencercamu, atas kemacetan yang mereka bangun sendiri. Apa kamu gerah? Karena pohon-pohon yang tadinya menjadi pakaianmu, satu-per satu berganti menjadi beton-beton berkaca. Apa kamu sedih? Karena kami yang seharusnya menjagamu, hanya bisa menyerahkanmu pada segenap pengurus dan menyalahkannya, dan tak ingin mengambil bagian lebih besar untuk turut menjagamu. Tapi, nampaknya kamu tetap Jakarta yang ramah. Karena pada malam-malam saat kulepaskan rindu menyusuri trotoarmu, aku melihat keramahanmu.
Kamu masih menyediakan lahan bagi mereka yang tak punya dinding dan atap untuk berisitirahat. Kamu masih meniupkan udara dingin untuk mereka agar tidur mereka sedikit nyenyak. Kamu masih menyelimuti mereka dengan udaramu yang mungkin sedikit tercemar oleh ulah kami-kami. Kamu masih dengan lapang membiarkan roda-roda gerobak tua melintasmu. Bersaing dengan deru-deru kendaraan yang memadati dan memakimu tiap hari. Kamu masih membiarkan sungai-sungaimu dicemari, disampahi. Dan saat banjir datang, kamu membiarkan mereka menyalahkanmu, padahal mereka sendiri yang memenuhi jalur airmu dengan limbah mereka.
Jakarta, aku telah menyusuri dinginnya kota-kota lain. Memanjakan mataku dengan pantai-pantai yang bersih di kota lain. Memanjakan telingaku mendengarkan kesunyian dalam sepinya kota lain. Sejenak menghirup udara di kota lain. Tapi, entah apa yang menarikku, aku kemudian merindukanmu. Bising yang terdengar, kesibukkan yang ada di atasmu.
Jakarta, kamu tetap ramah seperti dulu. Dan semoga, akan terus tersisa sudut-sudut di atasmu yang bisa kususuri saat aku merindukanmu.
Yang menggelindingkan hidupnya di atasmu,
Aku.
Jakarta, entah apa isi surat yang kau kirim pada kami para pendudukmu. Bila saja kamu bisa menulisnya. Kamu hanya diam seperti dulu, namnu apa yang ada di atasmu membuatmu terus dikutuk, dicerca, namun entah bagaimana terus dirindukan. Tanahmu yang terus memanggil mereka dari desa-desa berlekuk hijau, seakan-akan kamulah yang menjanjikan surga. Padahal kamu, hanya diam, menerima dengan terbuka apa-apa yang dibangun di atasmu.
Jakarta, di atasmu berdiri banyak gedung-gedung megah, yang entah mengapa dibanggakan oleh mereka yang berjalan di sekitarnya. Aku? Aku merindukan sudut-sudut kotamu. Aku rindu menyusuri trotoar-trotoar yang dibangun di atasmu. Menyusuri udara yang menyelimuti pada malam-malam hari, sambil memanjakan mataku dengan lampu-lampu yang menghiasi malam-malam di atasmu. Aku rindu, keheningan bersamamu, yang kini entah jam berapa bisa ku dengarkan. Mendengarkan nafasmu yang berat menopang kehidupan yang harus terus menderu di atasmu, 24 jam sehari.
Jakarta, apa kamu lelah? Terlalu banyak orang yang menggelindingkan hidupnya di atasmu. Apa kamu marah? Banyak orang yang mencercamu, atas kemacetan yang mereka bangun sendiri. Apa kamu gerah? Karena pohon-pohon yang tadinya menjadi pakaianmu, satu-per satu berganti menjadi beton-beton berkaca. Apa kamu sedih? Karena kami yang seharusnya menjagamu, hanya bisa menyerahkanmu pada segenap pengurus dan menyalahkannya, dan tak ingin mengambil bagian lebih besar untuk turut menjagamu. Tapi, nampaknya kamu tetap Jakarta yang ramah. Karena pada malam-malam saat kulepaskan rindu menyusuri trotoarmu, aku melihat keramahanmu.
Kamu masih menyediakan lahan bagi mereka yang tak punya dinding dan atap untuk berisitirahat. Kamu masih meniupkan udara dingin untuk mereka agar tidur mereka sedikit nyenyak. Kamu masih menyelimuti mereka dengan udaramu yang mungkin sedikit tercemar oleh ulah kami-kami. Kamu masih dengan lapang membiarkan roda-roda gerobak tua melintasmu. Bersaing dengan deru-deru kendaraan yang memadati dan memakimu tiap hari. Kamu masih membiarkan sungai-sungaimu dicemari, disampahi. Dan saat banjir datang, kamu membiarkan mereka menyalahkanmu, padahal mereka sendiri yang memenuhi jalur airmu dengan limbah mereka.
Jakarta, aku telah menyusuri dinginnya kota-kota lain. Memanjakan mataku dengan pantai-pantai yang bersih di kota lain. Memanjakan telingaku mendengarkan kesunyian dalam sepinya kota lain. Sejenak menghirup udara di kota lain. Tapi, entah apa yang menarikku, aku kemudian merindukanmu. Bising yang terdengar, kesibukkan yang ada di atasmu.
Jakarta, kamu tetap ramah seperti dulu. Dan semoga, akan terus tersisa sudut-sudut di atasmu yang bisa kususuri saat aku merindukanmu.
Yang menggelindingkan hidupnya di atasmu,
Aku.
No comments:
Post a Comment